Islamkah
Kita ?
Zainal AM Husein*
Alkisah, raja Persia yang bernama Tukla, mengunjungi salah satu orang
saleh dan berkata, “Kegagalan telah melandaku. Hanya orang miskin yang
mendapatkan kekayaan di dunia ini, bila kemuliaan dunia ditinggalkan. Oleh karena
itu, kini aku akan habiskan waktuku beribadah agar aku bisa memanfaatkan
waktuku yang tersisa bagiku”. Orang saleh yang mendengarkan marah lalu berkata,
“Cukup!”. Lalu ia berseru, “Agama bertindak sama dalam memberikan pelayanan
kepada manusia; yang pelayanan kepada umat manusia tersebut tidak akan
ditemukan dalam tasbih, atau diatas sajadah atau pada pakaian yang
compang-camping. Jadilah seorang raja yang bermoral suci. Berbuatlah dan bukan
hanya kata-kata, yang dituntut oleh agama, karena kata-kata tanpa perbuatan
adalah kesia-siaan”.
Penggalan cerita ini tertulis pada buku berjudul Bustan,
salah satu magnus opus-nya Sang penyair besar Persia, Sa’di. Kalu coba
kita renungkan, maka pada penggalan tersebut, Sa’di ingin memberikan ‘hikmah’
bahwa : Pertama, agama (dalam artian konsep takdir) bukanlah sebuah
upaya justifikasi terhadap gagalnya kita
dengan segala upaya kita. Kita sangat sering terjebak pada determinisme
yang berujung pada sikap fatalistik, bahwa Tuhan adalah perantara bagi gagalnya
kita dalam melakukan sesuatu. Kita sering menisbahkan kesalahan kita kepada
Sang Esa tersebut.
Bukan sekedar itu, kita juga sering malahan
menyalahkan orang lain atas sesuatu yang menimpa kita. Negara kita saat ini
dilanda semacam ‘kemiskinan berjamaah’, tetapi oleh sebahagian orang malahan
menyalahkan orang-orang miskin tersebut dengan tuduhan malas dan lain
sebagainya. Kita terjebak dengan mem-blaming the victim. Mereka adalah
korban dari dosa kolektif kita semua. Kita semua bertanggungjawab terhadap
masalah tersebut. Menanggulangi masalah kemiskinan juga mnembutuhkan tindakan
kolektif, karena itu konsep takdir dalam agama Islam tidaklah berada pada kutub
determinisme, apalagi terletak pada free will. Kita adalah co-creator
Allah didunia ini, ucap terminologi tashawwuf.
Kedua, agama Islam
bukanlah sarana ‘onani spiritual’ an sich. Dalam agama Islam, bukanlah
pendekatan kepada Allah saja yang harus kita lakukan. Kita punya berbagai kerja
dari pengejawantahan misi dan visi Islam sebagai agama pembebasan. Agamna Islam
memberikan tempat yang sama bagi upaya pendekatan kepada Allah dan pendekatan
kepada masyarakat.
Muhammad Iqbal menuliskan sebuah perbedaan yang
mencolok dari seorang mistikus dengan
seorang nabi. Seorang mistikus, katanya, hanya melakukan perjalanan dari
dirinya menuju ke Tuhannya semata. Dan puncak perjalanan seorang mistikus
adalah ketika ia ‘bertemu’ Tuhannya. Tetapi seorang nabi, melakukan upaya
seorang mistikus dalam pendekatan ke Tuhannya dan melakukan upaya pendekatan
kepada masyarakatnya. Seorang nabi menawarkan rekayasa budaya, menawarkan
rekayasa sosial dan pembentukan paradigma baru bahwa betapa berfikir rasional
adalah senjata ampuh dan berfikir irasional adalah kenaifan. Seorang nabi
melakukan siklus kehidupan, yaitu menata spiritual dan intelektual untuk aksi
sosial yang kesemuanya dibingkai oleh pandangan dunia tauhid.
Ketiga,
agama yang membebaskan tidak terletak pada kata-kata, tetapi pada aksi. Kadang
teori-teori dan adagium-adagium keagamaan telah menjejal otak kita terlalu
banyak sehingga aksi teramat sering kita lupakan. Kita larut mempelajari dan
berteori tentang sesuatu, tapi tidak melakukan sesuatu. Untuk hal ini, mungkin
kita harus menyepakati Karl Marx yang ‘membenci’ orang yang hanya berfikir
tentang hakikat sesuatu, tetapi tidak berusaha untuk melakukan perubahan. Islam
adalah penyerahan diri, penyerahan diri adalah keyakinan, keyakinan adalah
pembenaran, pembenaran adalah ikrar, ikrar adalah pelaksanaan, dan pelaksanaan
adalah amal perbuatan.
***
Kita harus mulai belajar untuk memisahkan ajaran
agama Islam yang rasional dan rasionalisasi ajaran agama Islam oleh manusia.
Ada perbedaan signifikan terhadap ajaran agama Islam yang esensial dan
membebaskan dengan ajaran agama Islam yang tampak sekarang bahwa seakan-akan
tidak membebaskan dan terkurung pada pemahaman sempit yang berangkat dari
beda-beda mazhab yang secara malang, hal itu dilakoni dengan fanatik. Dan
terciptalah agama yang anti pada keterbukaan dan sarang anti pembebasan.
Memotret Indonesia kita, maka memang harus kita
akui bahwa ada semacam ‘paradoksal faktual’. Kita dapat lihat betapa
unsur-unsur spiritualitas mengalami eskalasi yang cukup signifikan dengan
menjamurnya pengajian-pengajian dan pusat-pusat pengkajian Islam. Hal ini
mengingatkan kita pada ramalan John Naissbit bahwa dipenghujung abad 20 akan
ada peningkatan perasaan keagamaan. Tetapi juga kita harus melihat secara
faktual bahwa terjadi peningkatan kekerasan, terjadi peningkatan
kejahatan-kejahatan yang mungkin dapat kita simpulkan bahwa berbanding lurus
dengan kenyataan peningkatan spiritualitas. Kita dibanjiri dengan buku-buku
yang membawa kita pada dunia spiritualitas tetapi kita juga dibanjiri dengan
buku-buku, tabloid-tabloid ataupun koran-koran yang mengantar kita pada dunia
pornografis yang rendahan. Kita belum juga membicarakan dunia cyber.
Pertanyaan sekarang adalah Islamkah kita ? Atau kita hanya mengaku
beragama Islam ? Ataukah kita adalah beragama Islam oleh kultur yang terbentuk
secara turun-temurun oleh keluarga kita yang secara kebetulan mengecap agama
Islam ? Ataukah kita adalah Islam yang rasional dengan penagkapan esensi Islam
secara tepat ? Tentu yang kita harusnya akui adalah yang terakhir, namun
sudahkah kita mengetahui Islam esensial yang indah tersebut ? Dan setelah kita
tahu apa yang harus kita lakukan untuk menembak realitas sekarang menggunakan
‘episteme’ realitas keagamaan Rasulullah di limabelas abad yang lalu tersebut ?
Tugas kita memang mencari. Mencari Islam esensial
untuk menemukan metodologi yang tepat, lalu mencoba melanjutkan misi profetik
kenabian untuk melakukan rekayasa sosial untuk mencapai masyarakat madani.
Selamat mencari…!
_______________________________________