EPISTEMOLOGI ISLAM

(Versi Filosof Muslim)*)

Muhammad Rusli Malik**)

 

 

Pembahasan tentang epistemologi Islam ini secara garis besarnya  kita bagi menjadi dua. Yang pertama adalah yang berkaitan dengan epistemologi Islam dalam versi para filosof Muslim. Untuk itu kita perlu melihat secara sepintas sejarah perkembangan filsafat di dunia Islam guna menemukan asal-usul dan orisinalitas berpikir mereka. Ini penting dalam rangka menjejaki dan memilah sejauh mana pengaruh filosof Yunani dan pengaruh al-Qur’an di dalamnya. Hanya dengan cara itulah nantinya kita baru akan bisa menempatkan posisi al-Qur’an--serta keaslian filsafat ilmu yang dianutnya tanpa bias dari pihak manapun--dalam konteks keilmuan secara menyeluruh.

Yang kedua adalah mengkaji secara spesifik pandangan al-Qur’an tentang  asal-usul  ilmu  pengetahuan. Di  sini  nanti kita akan coba melepaskan   sedapat   mungkin   pengaruh-pengaruh   dari    pihak manapun termasuk distorsi-distorsi yang mungkin terjadi yang dilakukan oleh para ahli tafsir. Di sini kita akan membiarkan al-Qur’an membincang dirinya sendiri. Kita, sebagai penikmat, memposisikan diri benar-benar sebagai murid yang siap mencerna bahasan-bahasan al-Qur’an tentang epiostemologi.

 

SEJARAH

Sebelum kita melihat analisi epistemologi beberapa—ruangan ini tidak memungkinkan kita melihat satu persatu—filosof Muslim, kita terlebih dulu mengutip kegusaran (sekaligus pembelaan) al-Asy’ari**) terhadap serangan orang-orang yang berpandangan picik tentang kajian-kajian keilmuan dan kefilsafatan.

“Sekelompok orang telah menjadikan kebodohan sebagai modal mereka. Mereka merasa berat melakukan pengkajian dan pembahasan tentang agama, kemudian mereka cenderung kepada pemahaman yang mudah dan taqlid. Mereka mencela orang yang meneliti prinsip-prinsip agama, dan menisbatkannya kepada kesesatan. Mereka beranggapan bahwa pengkajian tentang gerak, diam, materi, aksiden (al-aradl), pola-pola aksidental (al-alwan), situasi (al-akwan), atom, lompatan (al-thafrah), dan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Tinggi adalah perbuatan bid’ah dan kesesesatan.”

 

1)                                                                                                                     Al-Asy’ari (Wafat 300 H/ 913 M) ini bisa kita sebut sebagai Bapak Teologi Umat Islam Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafe’i. Asy’ari dikenal dengan upayanya mencari titik temu antara Jabariyah dan Qodariyah.


Secara teoretis, jalan tengah inilah yang dianut oleh umat Islam di Indonesia.

Urgensi kata-kata al-Asy’ari tersebut akan sangat terasa jika kita menyadari bahwa tokoh teologi itu hidup ketika filsafat Yunani tengah merasuki dunia Islam dan menghiasi perdebatan-perdebatan majaleis keilmuan yang ada pada saat itu. Al-Asy’ari adalah generasi kedua setelah Al-Kindi (185 H/ 801 M – 260 H/ 873 M). Sementara Al-Kindi—yang menguasai dengan baik bahas Yunani dan bahasa Syria--inilah yang dikenal pengulas dan penerjemah buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahsa Arab. Termasuk menerjemahkan buku Plotinus yang sangat terkenal, yaitu Enneads, yang di dalamnya membahas ajaran-ajaran Plato dan Aristoteles. Pada waktu itulah filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam  mulai menemukan bentuknya.

Begitu pesatnya pengaruh filsafat Yunani kala itu sehingga tidak sedikit umat Islam yang mencurigainya. Bahkan ada yang tegas-tegas menentangnya sebagai perbuatan bid’ah dan menyesatkan seperti disinyalir Asy’ari tadi. Alasan mereka cukup “masuk akal”; yaitu bahwa seandainya filsafat (Yunani) merupakan bagian dari petunjuk dari Allah dan di dalamnya ada kebenaran maka pastilah Nabi dan para sahabat membahasnya.

Makanya untuk konteks Indonesia, yang mayoritasnya menganut faham Asy’ariyah, kita sangat heran atas kurangnya bahkan hampair tidak adanya sama sekali sambutan umat Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan moderen. Kebanyakan di antara umat masih mencurigai filsafat sebagai hanya akan menyesatkan, dan karenanya harus dijauhi. Mereka lebih senang berkutat pada kitab-kitab fiqih yang ditulis untuk menjawab tantangan zamannya (sekitar seribu tahun yang lalu). Sehingga sama sekali tidak terasa nilai aktiualisasinya sekarang.

 

Mereka lupa bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan moderen sekarang tidak akan sampai ke Eropa kalau bukan karena jasa para filosof dan ilmuwan Islam  zaman dulu.

Sikap penentangan pada zaman Asy’ari tidak berhasil menghentikan laju perkembangan filsafat. Buktinya filosof-filosof besar tetap saja lahir sesudahnya, bahkan dalam kurun waktu yang sangat rapat. Hanya sembilan tahun (251 H/ 865 M) sebelum wafatnya al-Kindi (yang lahir sekitar satu dasawarsa sebelum meninggalnya Khalifah al-Rasyid) lahir Abu Bakr Muhammad ibn Zakaria ibn Yahya al-Razi. Tujuh tahun kemudian (258 H/ 870 M) lahir filosof besar lainnya, yaitu Abu Nasr al-Farabi.

Abad berikutnya, muncul Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub Miskawaih (320 H/ 932 M – 421 H/ 1030 M). Kemudian ada Ibnu Sina (370 H/ 980 M – 428 H/ 1037) yang digelari al-Syaikh al-Rais. Kemudian setelah itu berturut-turut datang Ibnu Bajjah,  Ibnu tifail, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan Ibnu Khaldun.

Itu baru sebagian tokoh-tokoh utamanya yang populer di masyarakat. Dalam rentang waktu itu, antara al-Kindi dan Ibnu Khaldun, sekitar 500 tahun, ribuan filosof dan ilmuwan besar lahir. Dan rentetan nama mereka itulah yang mengharumkan kejayaan peradaban Islam abad pertengahan.

Dan yang disebut filosof dan ilmuwan pada saat itu bukanlah spesialisasi pada satu disiplin ilmu seperti yang kita kenal sekarang ini. Mereka rata-rata menguasai banyak disiplin ilmu. Ibnu al-Nadim dan al-Qifti misalnya mengelompokkan risalah-risalah al-Kindi ke dalam 17 kelompok disiplin ilmu: 1) filsafat, 2) logika, 3) ilmu hitung, 4) globular, 5) musik, 6) astronomi, 7) geometri, 8) sperikal, 9) kedokteran, 10) astrologi, 11) dialektika, 12) psikologi, 13) politik, 14) meteorologi, 15) dimensi, 16) benda-benda pertama, 17) logam, kimia, dan lain-lain.

Jumlah itu menunjukkan keluasan ilmu yang dikuasai al-Kindi. Dan pada saat yang sama ia juga berpraktek sebagai seorang dokter. Ia pernah menyembuhkan seorang lumpuh hanya dengan musik. Ibnu Sina yang terkenal sebagai seorang dokter itu juga seorang filosof yang oleh pemikir Barat dianggap sebagai tidak ada taranya dalam hal orisinalitas dan ketajaman analisisnya. Pengaruh Ibnu Sina sangat terasa dalam pemikiran-pemikiran Mulla Sadra belakangan, yang selanjutnya mempengaruhi filosof-filosof mutaakhir di Persia seperti Ayatullah Khomeini, Taba’taba’I, Muthahhari, Baqir Sadr, dan sebagainya.

 

AKAL

Walaupun ada perbedaan mengenai asal-usul ilmu pengetahuan di kalangan filosof seperti telah kita paparkan pada pembahasan terdahulu (Bagian II) tetapi mereka sepakat bahwa akal itu memegang peranan yang sangat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Kesepekatan itu lepas dari apakah akal itu memiliki kemampuan potensial ilmu pengetahuan ataukah hanya semata bertugas sebagai alat untuk berfikir menarik ilmu pengetahuan dari tempat lain, misalnya dari ide (idealisme) atau alam positif (empirisme).

Pembahasan tentang akal di kalangan filosof Muslim dapat diikuti jejaknya sampai kepada Aristoteles hingga Plato dan Socrates. Al-Kindi sendiri sebelum memaparkan pendapat pribadinya tentang akal, ia terlebih dahulu mengutip pendapat Aristoteles.

Aristoteles membagi akal menjadi empat macam. Pertama, akal aktual abadi. Kedua, akal yang ada secara potensial. Ketiga, akal yang dalam jiwa beralih dari potensial ke aktual.. Dan keempat ialah akal sekunder.

 

Akal sekunder adalah mewakili akal yang ada pada indera. Perwakilan ini dianggap perlu  sebab dekatnya indera itu kepada sesuatu yang hidup (di luar dirinya) dan sifatnya yang meliputi sesuatu itu secara keseluruhan. Menurut Aristoteles bentuk itu ada dua macam. Yakni bentuk yang ada di alam benda yang dijangkau oleh panca indera yang disebut hayulani, dan bentuk yang tidak berada di alam benda melainkan berada di alam yang hanya dapat dijangkau oleh akal, yaitu kualitas benda-benda tersebut. Akal sekunder bertugas menangkap bentuk-bentuk yang ada di alam benda.

Ketika bentuk yang berada di alam akal (bukan hayulani) tadi disadari atau disentuh oleh jiwa maka bentuk tersebut dengan serta merta bergeser dari akal menuju ke jiwa. Tetapi dengan instrumen apakah jiwa ini menyadarinya? Ya, dengan akal yang ada pada jiwa itu sendiri. Yaitu akal jenis ketiga. Akal yang ada di dalam jiwa inilah yang, dalam waktu tertentu, merubah akal yang potensial menjadi akal aktual. Di jiwa inilah bentuk (yang memiliki sifat kebendaan) berubah menjadi tidak (memiliki sifat) kebendaan tapi juga tidak (memiliki sifat) hayali atau fantasi. Dan sesuatu yang tidak memiliki sifat kebendaan dan sifat hayali inilah yang disebut dengan akal perolehan yang lebih dikenal dengan akal mustafad atau intellectus adeptus yang berasal dari akal pertama. Dan karena bentuk-bentuk di situ berasal dari akal pertama maka kualitasnya sudah tentu aktual dan abadi sifatnya.

Ada yang mengatakan bahwa keempat pembagian akal tersebut sesungguhnya merupakan pembagian yang dibikin oleh al-Kindi sendiri. Sebab menurut mereka ini, Aristoteles dalam De Anima-nya hanya membagi akal ke dalam dua jenis. Yaitu akal mungkin dan akal agen. Akal-mungkin menerima pikiran, sedangkan akal-agen menghasilkan objek-objek pemikiran Akal agen ini dilukiskan Aristoteles sebagai tersendiri, tak bercampur, selalu aktual, kekal, dan tidak akan rusak.

Alexander dari Aphrodisias, dalam De Intellectu-nya lalu meng-genapkannya jadi tiga macam. Yaitu akal materi, akal terbiasa, dan akal agen. Akal materi dalah daya murni yang dapat rusak yang digunakn manusia untuk menerima bentuk-bentuk. Akal yterbiasa ialah yang memperoleh dan memiliki pengetahuan, yaitu akal yang telah berubah dari potensial menjadi aktual. Merubah akal potensial menjadi akal aktual memerlukan agen. Fungsi keagenan inilah yang diperankan oleh akal ketiga sehingga disebut juga dengan intellegencia agens. Ada yang menyebutnya sebagai “akal ketuhananan” yang mengalir ke dalam jiwa manusia.

Bagaimanakah akal itu bekerja? Al-Kindi menerangkannya dalam sebuah risalahnya yang berjudul “Filsafat Awal”. Ia menulis, “bila genus-genus dan spesies menyatu dengan jiwa, maka genus-genus itu menjadi terakali (ma’qul). Jiwa benar-benar menjadi rasional setelah menyatu dengan spesies. Sebelum menyatu, jiwa berdaya rasional. Maka segala sesuatu yang eksis dalam bentuk daya, tak dapat menjadi aktual, kecuali kalau dibuat oleh sesuatu dari potensial menjadi aktual….”

Ibnu Bajjah bahwa pengetahua yang benar dapat diperoleh melalui akal yang merupakan satu-satunya instrumen yang dengannya manusia mampu mencapai kemakmuran dan membangun kepribadiannya. Sama dengan filosof lainnya, Ibnu Bajjah percaya pada kemajemukan akal. Yakni bahwa ada yang disebut akal pertama dan ada yang disebut akal kedua. Akal pertamalah yang menjadi sumber dari akal-akal yang lain. Ia mengibaratkan akal yang diperoleh dan tempat asal akal yang diperoleh itu sebagai sama dengan cahaya matahai yang ada di halaman dengan cahaya matahari yang ada di dalam ruah.

Bagi Ibnu Bajjah, pengetahuan yang dimiliki oleh akal itu ada dua jenisnya:

1). Pengetahuan yang dapat dipahami tapi tidak dapat    ditemukan.

2).  Pengetahuan yang dapat dipahami dan dapat pula ditemukan.

Pembagian pengetahuan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa akal juga memang ada dua jenisnya:

   Pertama, akal teoretis. Yaitu akal yang dengannya manusia dapat memahami segala sesuatu yang tidak dapat dimunculkannya. Kedua, akal praktis. Yaitu akal yang melaluinya  manusia bisa mengangankan benda-benda tiruan yang dapat dia atau manusia itu temukan. Kesempurnaan akal praktis ini terletak pada pemahaman manusia akan objek-abjek tiruan dan mewujudkan objek-objek itu sesuai dengan kehendaknya sendiri.

   Berdasarkan itu, Ibnu Bajjah lalu menilai bahwa akal itu memiliki dua fungsi: 1) memberikan imaji mengenai objek yang akan diciptakan kepada unsur imajinasi, dan 2) memiliki objek yang dibuat di luar jiwa dengan cara menggerakkan organ-organ tubuh.

   Menurut Ibnu Bajjah akal bisa membantu manusia mendekatkan diri pada akal pertama sedikit demi sedikit dengan cara:

1).  Meraih pengetahuan yang didasarkan pada bukti (empirisis), yang  dalam hal itu akal paling tinggi direlisasikan sebagai bentuk;

2).  Memperoleh pengetahuan tanpa mempelajarinya atau berusaha meraihnya. Konon metode kedua inilah yang ditempuh oleh para sufi, termasuk al-Ghazali, untuk memperoleh pengetahun tentang Tuhan.

Ibnu Sina juga ikut terlibat dalam perdebatan soal akal ini. Secara garis besarnya, ia membedakan antara akal potensial yang ada di dalam diri manusia dan akal aktif yang ada di luar diri manusia, yang karena pengaruh serta petunjuknya kal potensil berkembang dan menjadi matang.

 

Dalam benak Ibnu Sina, akal potensial yang ada pada diri mnausia adalah unsur yang tak dapat dibagi-bagi, tidak bersifat materi, dan tak dapat rusak sekalipun akal ini dibangkitkan kembali pada waktu tertentu dan sebagai sesuatu yang bersifat pribadi bagi setiap individu.

Aspek yang paling orisinal dari Ibnu Sina tentang akal terletak pada pandangannya tentang cara kerja akal dan cara menguasai pengetahuan. Baginya, pengalaman yang diterima alat-alat indera kita itu langsung muncul dari akal aktif. Yaitu pertama-tama, kita mempersepsi beberapa individu yang sama. Hasil persepsi ini lalu disimpan dalam memori. Setelah hasil kerja (mempersepsi dan menyimpannya dalam memori) yang tetap ini dilaksanakan, maka cahaya akal aktif “menyinari” individu-individu tersebut sehingga sifat dasar yang lazim pada pengalaman inderawi yang khusus itu timbul dari individu-individu tersebut.

Sampai di sini kita belum melihat adanya yang membedakan antara akal dan jiwa. Keduanya terkacaukan. Kesan yang kita tangkap dari al-Kindi tadi adalah bahwa keduanya sebetulnya tidak bisa dibedakan secara tegas. Di sinilah perbedaan Ibnu Rusyd dengan filosof pendahulunya. Ia justru membedakan kedua entitas itu dengan sangat hati-hati, terutama dalam kaitannya dengan proses pengetahuan.

Mungkin untuk menghindari kekacauan itulah sehingga Ibnu Rusyd lebih memilih terlebih dahulu terminologi jiwa sebelum akal dalam epistemologinya. Dalam risalahnya yang berjuul Talkhis Kitab al-Nafs ia terlebih dulu memaparkan prinsip-prinsip yang harus dipegang kalau hendak memahami substansi jiwa. Prinsip-prinsip itu adalah:

1).  Segala entitas yang fana terdiri atas materi dan bentuk, yang masing-masing dengan sendirinya bukan suatu wujud—meskipun melalui gabungan keduanya (materi dan bentuk), wujud itu bereksistensi.

2).  Materi utama tidak memiliki eksistensi aktual, dan hanya merupakan suatu kemmapuan untuk menerima bentuk-bentuk..

3).  Wujud-wujud sederhana pertama yang merupakan perwujudan materi utama itu merupakan empat unsur, yaitu: api, air, udara, dan bumi.

4).  Unsur-unsur itu masuk ke dalam susunan wujud-wujud lain lewat percampuran. Sebab jauh dari wujud-wujud percampuran ini adalah wujud-wujud angkasa.

5).  Panas alam merupakan sebab utama adanya per-campuran itu.

6).  Benda-benda organik dihasilkan dari individu-individu hidup yang sejenis dengan benda-benda organik itu lewat panas alam. Jiwa merupakan sebab paling dekat dari pembentukan terus-menerus mereka dan intelegensi yang menggerakkan lingkungan itu merupakan sebab yang jauh (huruf miring dari penulis).

Ibnu Rusyd selanjutnya membagi jiwa ke dalam lima bagian berdasarkan tindakan-tindakannya. Kelima bagian itu adalah: jiwa nutritif, sensitif, imajinatif, kognitif, dan apetitif.

Hirarki unsur-unsur itu bertumpu pada tatanan bentuk-bbentuk material yang disebutkan di atas. Cara hewan mendapatkan pengetahuan ialah lewat perasaan dan imajinasi, sedangkan cara manusia mendapatkan pengetahuan yaitu selain lewat dua cara tadi, juga lewat akal.

Atas dasar itu sehingga Ibnu Rusyd meminta untuk jangan mengacaukan antara pengetahuan Tuhan dan pengetahuan manusia. Sebab “manusia mencerap individu lewat indera dan mencerap hal-hal yang maujud lewat akalnya. Sebab persepsi manusia berubah dikarenakan berubahnya hal-hal yang dicerapnya, dan kemajemukan persepsi mengisyaratkan kemajemukan objek.”

 

Tentang akal, Ibnu Rusyd juga sepakat dengan filosof pendahulunya bahwa akal itu terdiri atas akal teoritis dan akal praktis. Lewat akal praktisnya manusia mencinta dan membenci, hidup bermasyarakat dan berteman. Kebajikan adalah hasil akal praktis. Kemaujudan kebajikan tak lebih dari kemaujudan gambaran, yang dari situ kita menuju ke tindakan-tindakan yang baik secara benar; seperti berani pada tempat dan waktunya serta sesuai dengan ukuran yang benar. Tentang akal teoretis, Ibnu membahasnya hampir sama dengan filosof lainnya.

Berbeda dengan al-Ghazali yang menempatkan masalah epistemologi pada bagian awal buku Iha’ Ulumuddin-nya, Ibnu Khaldun justru menempatkannya pada bagian terakhir Mukaddimah-nya.

Bagi Ibnu Khaldun kekuatan manusia terletak pada kemampuannya untuk berfikir. Dan berfikir baginya tidak lain dari penjamahan bayang-bayang di balik perasaan yang berhasil ditangkap oleh panca indera kita, dan aplikasi akal di dalamnya untuk membuat analisa dan sintesa. Walaupun hewan juga memiliki idrak—yaitu kemampuan menyadari dunia di luar dirinya—tetapi hanya manusialah yang memiliki tingkatan-tingkatan berfikir.

Tingkatan pertama ialah pemahaman inte;ektual manusia terhadap segala sesuatu yang ada di luar alam semesta dalam tatanan alam atau tata yang berubah-ubah, dengan maksud supaya dapat mengadakan seleksi dengan kemampuannya sendiri.  Bentuk pemikiran semacam ini kebanyakan berupa persepsi-persepsi. Inilah akal pembela atau al-aql al-tamyizi yang membantu manusia memperoleh segala sesuatu yang bermanfaat  bagi dirinya, memperoleh penghidupannya, dan menolak segala yang sia-sia bagi dirinya.

Tingkatan kedua ialah fikiran yang memperlengkapi manusia dengan ide-ide dan prilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang-orang bawahannya dan mengatur mereka. Pemikiran semacam inikebanyakan berupa appersepsi-appersepsi (tashdiqat)  yang dicapai satu demi satu melalui pengalaman hingga benar-benar dirasakan manfaatnya. Inilah yang disebut akal eksperimental, al-aql al-tajribi.

Tingkatan ktiga, pikiran yang memperlengkapi manusia dengan pengetahuan (‘ilm) atau pengetahuan hipotesis (dzann) mengenai sesuartu yang berada di belakang perspsi indera tanpa tindakan praktis yang menyertainya. Inilah yang disebut dengan akal spekulatif (al-aql al-nadzari). Ia merupakan persepsi dan appersepsi, tasawwur dan tashdiq, yang tersusu dalam tatanan khusus, sesuai dengan kondisi-kondisi khusus, sehingga membentuk pengetahuan lain dari jenisnya yang sama, baik perseptif atau apperseptif. Kemudia semua itu bergabung dengan hal-hal lain, lalau membentuk pengetahuan yang lain lagi. Akhir dari proses ini ilah supaya terlengkapi persepsi mengenai wujud sebagaimana adanya, dengan berbegai genera, diferensia, sebab-akibatnya.

Menurut Ibnu Khaldun, dengan cara dan tahapan-tahapan berfikir seperti itulah manusia bisa mencapai kesempurnaan dalam realitasnya, dan menjadi intelek murni serta memiliki jiwa perseptif. Inilah makna realitas manusia (al-haqiqah al-insaniyah).***

 

*) Disampaikan dalam rangka diskusi bersambung tentang Epistemologi pada Kelompok  Studi RausyanFikr, Kaliurang, Yogyakarta.

**)  Pengajar pada Yayasan RausyanFikr