PENGANTAR FILSAFAT ILMU *)
(Bagian IV)
EPISTEMOLOGI
ISLAM
(Versi
Falsafatuna Baqir Shadr)*)
Muhammad Rusli Malik**)
Inti filsafat ilmu yang dikembangkan
Muhammad Baqir Ash-Shadr sebetulnya tidak begitu jauh beda dengan yang telah
dikembangkan oleh filosof-filosof Islam sebelumnya, terutama Ibnu Khaldun.
Kalau kita membaca Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun, maka dengan mudah kita
menemukan istilah-istlah yang digunakan Baqir Shadr, seperti tashawwur
(konsepsi) dan tashdiq (penilaian/assent).
Ibnu Khaldun berangkat dari QS.
As-Sajadah (32) ayat 9 dan Al-Mulk (67) ayat 23: “Dan Dia menjadikan bagi
kamu pendengaran, penglihatan, dan akal.” Di kedua ayat itu ataupun di
ayat-ayat yang serupa dengannya, Ibnu Khaldun menafsirkan af’idah (bentuk
jamak dari fu’ad) dengan akal, sedangkan dalam tafsir-tafsir
berbahasa Indonesia
menerjemahkannya dengan hati. Fu’ad
inilah yang, menurut
Ibnu Khaldun, memiliki
kemampuan bertingkat-tingkat seperti yang telah kita kutipkan pada seri
kuliah sebelumnya (bagian III).
Baqir Shadr juga berangkat dari ayat
yang bunyinya hampir sama, tetapi agar memberikan perspektif yang jelas mengenai posisi—dan sekaligus
jawaban--Al-Qur’an dalam hal epistemologi, maka ia mengutip ayat yang lebih
sempurna, yaitu QS. An-Nahl (16) ayat 78: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia menjadikan bagi
kalian pendengaran, penglihatan, dan akal, agar kalian bersyukur.”
Di sini tidak disebutkan hanya satu
bagian saja. Tidak menyebutkan pendengaran dan penglihatan (dua instrumen indra
yang sangat penting) saja. Sebagaimana tidak menyebutkan rasio atau akal saja.
Tetapi kedua perangkat penting itu (indera dan rasio) disebutkan secara
singkron dan beruntun. Urgensi kepaduan kedua instrumen ini dapat dilihat dari
penutup ayat-ayat tersebut: “(Sayangnya) hanya sedikit yang bersyukur”
atau “Mudah-mudahan kalian semua bersyukur”.
Dengan demikian, dengan ayat 78 S.
An-Nahl tersebut—dan tentu saja dengan ayat-ayat yang dikutip Ibnu Khaldun tadi,
Baqir Shadr dengan tegas menolak empirisme, rasionalisme (dalam bentuknya yang
paling ekstrim), dan idealisme. Tapi ia bukan berarti menolak peranan panca
indera, ide dan rasio dalam pembentukan pengetahuan. Ia hanya menolak indera,
ide dan rasio sebagai sumber pengetahuan.
Bagi Baqir Shadr, indera hanya
menghasilkan gambaran-gambaran mengenai sesuatu yang dicerapnya. Makanya ia
menyebutnya sebagai tahap tashawwur (gambaran) atau konsepsi. Konsepsi
belum berbentuk pengetahuan. Ia baru data mentah yang terpisah-pisah satu sama
lain. “Konsepsi, dengan berbagai macamnya, tidak memeiliki nilai objektif,
karena ia merupakan kehadiran sesuatu dalam fakultas-fakultas intelektif kita.
Konsepsi, jika terlepas dari segala elemen tambahan, takkan menujukkan
eksistensi objektif sesuatu di luar pengetahuan.”
Konsepsi hanya mengenalkan kita pada
identitas individual masing-masing objek. Kalau ada kejadian yang terjadi
secara beruntun, konsepsi tidak bisa menemukan hukum sebab akibat yang bekerja
pada peristiwa-peristiwa tersebut. Konsepsi hanya melihat kejadian-kejadian itu
sebagai peristiwa yang terjadi secara berurutan.
Kalau Anda meletakkan panci berisi air
di atas kompor yang menyala, kemudian air itu mendidih, maka konsepsi hanya
melihat tiga objek di sana, yaitu: api, air, dan didih. Karena hal itu terjadi
setiap saat, maka konsepsi melihat bahwa air itu mendidih karena di letakkan di
atas api. Peristiwa ini berlangsung terus dalam waktu yang sangat lama dan
terus menerus, bahkan mungkin hampir seumur dengan manusia homo sapiens.
Sehingga kalau kesimpulan ditarik berdasarkan cerapan indera, maka kesimpulan
yang paling mungkin adalah: “air mendidih karena diletakkan di atas air.” Tentu
saja kesimpulan ini sangat menyesatkan.
Kesimpulan (yang
menyesatkan) seperti ini terjadi karena indera tidal mampu mempersepsi hukum
sebab-akibat. Indera hanya menangkap konsepsi beberapa objek yang terjadi
secara berurutan. Yaitu bahwa konsepsi di urutan terdahulu menjadi sebab urutan
berikutnya. Inilah sebabnya mengapa pengalaman
tidak bisa menjadi kriteria pokok untuk mengenali realitas.
Oleh karena itu Baqir Shadr menolak
dengan tegas doktrin empirisme karena 4 (empat) alasan: Pertama, apakah
prinsip itu sendiri (pengalaman adalah kriteria pokok untuk mengenali realitas)
adalah pengetahuan primer yang didapatkan manusia tanpa pengalaman sebelumnya?
Atau itu seperti pengetahuan-pengetahuan lain manusia yang tidak fitri dan
tidak niscaya?
Kalau ia adalah pengetahuan primer yang
mendahului pengalaman, maka gugurlah doktrin empirisme yang tidak mempercayai
pengetahuan primer, dan benarlah adanya keniscayaan pengetahuan manusia yang
tidak bergantung pada pengalaman. Jika pengetahuan tersebut membutuhkan
pengetahuan sebelumnya, maka ini berarti bahwa pada mulanya kita tidak tahu
bahwa pengalaman adalah kriteria logis, yang dijamin kebenarannya. Bagaimana
mungkin membuktikan kebenarannya, dan menganggapnya sebagai kriteria
pengalaman, jika kebenarannya belum pasti?
Kedua, ide filosofis yang bertumpu pada doktrin
empirisme tidak mampu mengukuhkan materi. Karena materi tidak mungkin
diungkapkan dengan pengalaman semata. Tetapi, apa yang tampak oleh indera dalam
wilayah-wilayah eksperimental hanyalah fenomena dan aksiden-aksiden materi.
Adapun materinya sendiri—yaitu substansi materi yang ditampakkan oleh fenomena
dan kualitas-kualitas itu—tak dapat dipersepsi dengan indera. Sekuntum bunga
yang kita lihat di suatu pohon atau yang kita raba dengan tangan, hanya kita
inderai keharuman, rasa, warna, dan keindahannya, tetapi kita inderai—dalam
semua keadaan tadi—substansi yang di dalamnya terdapat fenomena-fenomena
tersebut.
Kita hanya dapat mengetahui substansi
itu dengan hujah rasional yang berdasarkan pengetahuan rasional promer. Karena
itu, kaum empirisis atau eksperientalis mengingkari adanya materi. Jadi,
sandaran satu-satunya untuk menetapkan adanya materi adalah proposisi-proposisi
rasional primer. Tanpa proposisi-proposisi itu, indera tak mampu menetapkan
adanya materi di balik bau yang semerbak, warna merah, atau rasa tertentu
sekuntum bunga mawar.
Ketiga, kalau jelajah pikiran itu terbatas pada
pengalaman dan tidak memiliki pengetahuan-pengetahuan yang terlepas dari
pengalaman, tentu ia tidak dapat menentukan kemustahilan sesuatu pun.. Sebab,
kemustahilan, dalam arti “tidak adanya kemungkinan maujudnya sesuatu”, bukanlah
termasuk dalam pengalaman. Pengalaman tak mungkin mengungkapkannya. Paling
banter pengalaman hanya dapat menunjukkan tidak adanya hal-hal tertentu. Tapi,
tidak adanya sesuatu tidak menunjukkan kemustahilannya.
Ada beberapa hal yang keberadaannya
tidak diungkapkan pengalaman. An pengalaman menunjukkan tidak adanya hal-hal
itu dalam wilayah spesifik mereka. Meskipun demikian kita tak menganggapnya
mustahil, dan tak menapikan kemungkinan adanya, seperti kita lakukan dalam
kasus hal-hal yang mustahil. Alangkah gamblangnya perbedaan antara
berbenturannya bulan dengan bumi, adanya makhluk di planet mars, atau adanya
manusia yang mampu terbang karena kelenturan otot-otot tertentunya, di satu
pihak—sebagai contoh hal-hal yang tak ada namun mungkin ada; dan di lain pihak,
adanya segitiga yang memiliki empat sisi, adanya bagian yang lebih besar
daripada keseluruhan, dan adanya bulan yang pada saat yang sama ia tidak
ada—sebagai contoh hal-hal yang tak ada dan mustahil ada.
Semua proposisi tersebut tidak
teraktualisasikan dan tidak tunduk kepada pengalaman. Kalau pengalaman itu
adalah sumber pokok pengetahuan, tentu kita takkan dapat membedakan kedua
kelompok (proposisi) tadi. Sebab, kata “pengalaman” pada kedua kelompok itu
sama saja. Meskipun begitu, kita semua melihat perbedaan yang nyata antara
kedua kelompok itu. Kelompok pertama tidak teraktualisasikan, walaupun pada
esensinya mungkin. Sementara kelompok kedua, bukan saja tidak ada, tetapi juga
sama sekali tidak mungkin.
Keempat, prinsip kausalitas tidak
mungkin dibuktikan dengan doktrin empirisme. Teori empirisme tidak mampu
memberikan hujah yang benar mengenai kausalitas sebagai suatu gagasan
konseptual. Demikian pula doktrin empirisme, ia tidak mampu membuktikannya
sebagai suatu prinsip atau gagasan pembenar. Sebab pengalaman tidak mungkin
menjelasakan kepada kita kecuali serangkaian fenomena tertentu. Dengan
pengalaman, kita tahu bahwa air akan mendidih jika derajat panasnya mencapai
seratus derajat celcius, dan akan membeku jika temperaturnya turun sampai di
bawah nol derajat. Adapaun satu fenomena yang menyebabkan fenomena yang lain,
dan keniscayaan yang ada di antara keduanya, ini tidak diungkapkan oleh
pengalaman, bagaimana pun tepatnya pengalaman itu dan meskipun kita
mengulang-ulang pengalaman tersebut. Nah, jika prinsip kausalitas itu gugur,
maka gugur pula ilmu-ilmu alam…
Karena tashawwur tidak sanggup
menunjukkan eksistensi objektif sesuatu di luar pengetahuan, maka satu-satunya
yang memiliki kualitas untuk secara esensial mengungkapkan realitas objektif
adalah tashdiq atau pengetahuan tashdiqi. Jadi tashdiq-lah yang
mengungkapkan adanya realitas objektif konsepsi.
Baqir Shadr menjelaskan tashdiq sebagai
suatu pengetahuan yang bersifat primer yang keniscayaannya tidak mungkin
dibuktikan dan yang kebenarannya tak dapat dipaparkan. Tetapi pikiran menyadari
kemustian untuk menerimanya dan mempercayai kebenarannya. Contoh tentang
pengetahuan yang seperti itu adalah prinsip nonkontradiksi, prinsip
kausalitas, dan prinsip-prinsip matematis primer.
Prinsip-prinsip seperti itu, kata Baqir
Shadr, adalah sorotan cahaya rasional pertama. Dengan panduan sorotan itu,
semua pengetahuan dan tashdiq yang lain harus didirikan. Makin akurat
pikiran menerapkan dan mengarahkan cahaya tersebut, makin jauh ia dari
kesalahan.
Selanjutnya nilai pengetahuan
bergantung pada sejauh mana kadar bertumpunya pengetahuan pada prinsip-prinsip
tersebut, dan sejauh mana ia menarik kesimpulan darinya. Karena itu, sangat
mungkin, berdasarkan prinsip-prinsip ini, untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar dalam metafisika, matematika dan ilmu-ilmu alam. Bedanya dengan yang lain
adalah bahwa ilmu-ilmu alam, dalam menerapkan prinsip-prinsip primer tersebut,
memebutuhkan eksperimen yang menyediakan kondisi-kondisi penerapan bagi
manusia. Sedangkan metafisika dan matematika, dalam penerapannya, tidak
membutuhkan eksperimen eksternal sama sekali.
Berdasarkan argumen-argumen itulah
sehingga Baqir Sadhr mengajukan empat pemikiran dasar tentang tashdiq. Pertama,
bahwa prinsip-prinsip rasional niscaya adalah dasar umum bagi semua kebenaran
ilmiah, sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya.
Kedua, nilai teori-teori dan hasil-hasil itu dalam
bidang–bidang eksperimental itu bergantung pada sejauh mana akurasi teori-teori
dan hasil-hasil itu dalam menerapkan prinsip-prinsip niscaya tersebut pada
totalitas data empiris yang terhimpun. Karena itu, tidaklah mungkin memberikan
suatu teori ilmiah dengan keyakinan penuh, kecuali jika eksperimen tersebut
menjamah seluruh objek yang mungkin yang relevan dengan persoalan yang
ditelaah, dan mencapai keluasan dan cukup ketelitian yang memungkinkannya
menerapkan prinsip-prinsip niscaya tersebut pada objek-objek yang mungkin itu,
dan pada gilirannya membuat hasil ilmiah yang padu berdasarkan aplikasi
tersebut.
Ketiga, dalam bidang-bidang noneksperimental, seperti
dalam persoalan-persoalan metafisika, teori filsafat mendasarkan dirinya pada
penerapan prinsip-prinsip niscaya tersebut pada bidang-bidang itu. Tetapi,
penerapan tersebut dapat dibuat dalam bidang-bidang itu tanpa eksperimen.
Jadi, dalam hal membuktikan (adanya)
sebab pertama bagi alam misalnya, nalar harus menerapkan prinsip-prinsip
niscayanya pada persoalan ini supaya dapat membuat teori afirmatif atau
negatifnya sesuai dengan prinsip-prinsip ini. Selama persoalan tersebut bukan
eksperimental, aplikasinya pun terjadi melalui peroses berpikir dan penyimpulan
rasional murni yang terlepas dari eksperimen.
Keempat, kita tahu bahwa pengetahuan tashdiqi
adalah yang mengungkapkan objektivitas konsepsi dan adanya suatu realitas
objektif konsep yang ada di dalam benak kita. Kita juga tahu bahwa pengetahuan
tashdiqi itu adalah pasti karena ia bertumpu pada prinsip-prinsip niscaya
tersebut. Persoalannya kemudian adalah sejauh mana kesesuaian konsep mental
dengan realitas objektif yang kita yakini adanya berdasarkan konsep ini. Atau dengan
kata lain, apakah konsep ini tepat dan benar.
Jawaban untuk persoalan ini adalah
bahwa konsep mental yang kita bentuk tentang suatu realitas objektif tertentu
mengandung dua sisi. Ia, dari satu sisi, adalah bentuk sesuatu dan eksistensi
khususnya di dalam benak kita. Karena itu, sesuatu itu harus terpresentasikan
di dalamnya. Kalau tidak, tentu ia bukan bentuk sesuatu itu. Namun, dari sisi
lain, ia berbeda secara mendasar dengan realitas objektif. Karena ia tidak
memiliki karakteristik-karaktristik realitas objektif sesuatu itu, dan juga tak
memiliki berbagai bentuk efektivitas dan aktivitas realitas itu. Jadi, konsep
mental yang kita bentuk tentang materi, matahari atau panas, tak soal dengan
presisi dan detilnya, tidak mungkin melaksankan peranan efektif yang
dilaksanakan oleh realitas objektif eksternal konsep-konsep mental tersebut.
Dengan begitu, Baqir Shadr dapat
menentukan sisi yang diambil dari realitas objektif dan sisi yang dinisbatkan
kepada formasi mental privatnya. Jadi, ide adalah objektif karena sesuatu itu
terpresentasikan di dalamnya secara mental. Tetapi dikarenakan pengelolaan
subjektifnya, sesuatu yang terpresentasikan secara mental dalam bentuk itu
kehilangan setiap efektivitas dan kegiatan yang dimilikinya di dalam dunia luar.
Perbedaan antara ide dan realitas ini, secara fisik, adalah perbedaan antara
esensi (mahiyyah) dan eksistensi.
Dari pandangan-pandangan yang
dikemukakannya, kelihatan dengan sangat jelas, Baqir Shadr menentang empirisme.
Idealisme bahkan tidak pernah dijamahnya. Pandangannya lebih dekat ke
rasionalisme. Bahkan pada tingkat tertentu bisa dikatakan bahwa ia adalah
penganut rasionalisme. Yaitu bahwa ia percaya pada kemampuan rasio. Cuma,
baginya, pengetahuan bukan muncul
dengan serta merta dari rasio. Rasio hanya memendam potensi-potensi yang
bersifat—misalnya—nonkontradiktif, kausalitatif, dan matematis, yang
memungkinkannya melakukan penilaian (tashdiq/assent) terhapat seluruh
informasi yang dikumpulkan oleh indera. Dengan penilaian ini, maka terbentuklah
pengetahuan baru. Demikian seterusnya sehingga pengetahuan pada akhirnya
bersifat akumulatif.
Oleh sebab itu akurasi pengetahuan baru
tergantung pada ‘kecerdasan’ rasio dan intensitas pemanfaatannya dalam
mempersepsi informasi-informasi atau konsep-konsep (tashawwur) yang
diserap oleh indera.***
*) Disampaikan
dalam rangka diskusi bersambung tentang Epistemologi pada Kelompok Studi RausyanFikr, Kaliurang, Yogyakarta.
**)
Pengajar pada Yayasan RausyanFikr